Selasa, 17 Maret 2009

Fira Basuki

Persentuhan Budaya Antarbangsa dalam Perspektif Keindonesiaan
pada Novel Rojak Karya Fira Basuki

Oleh Derri Ris Riana*

Abstrak
Acculturation among one culture and another one usually happens in this world. Every culture has its own unique characteristics that can influence the other one. This acculturation is shown in Rojak that was written by Fira Basuki. The main character in this novel goes through his marriage that has different cultures, Javanese and Chinese. There are many conflicts arise caused by different thought and perceptions among them. To minimize the conflict, the characters have to adapt the two cultures without blaming to each others. The nationalism is also shown in the main character that he still defend his faith without losing his culture. He still does all of the things that are suitable with his culture that is not influenced by the other culture. Therefore, this research analyzes the acculturation among two cultures in Indonesian perception.

Key Words: acculturation, marriage, nationalism


1. Pendahuluan
Temu budaya antarbangsa yang terjadi di dunia menunjukkan bahwa setiap bangsa pada dasarnya dapat memengaruhi bangsa lain. Sebagai konsekuensi temu budaya tersebut, budaya Indonesia mau tidak mau menerima pengaruh budaya asing, seperti budaya Cina, budaya India, budaya Eropa, budaya Arab, dan sebagainya. Budaya asing tersebut berasimilasi dengan budaya lokal dalam makalah ini adalah budaya Indonesia. Sebagian dari unsur-unsur budaya asli Indonesia itu telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia. Dapat dikatakan bahwa kebudayaan-kebudayaan asing tersebut ikut “membentuk” dan mewarnai perkembangan kebudayaan Indonesia (Dharmanto dalam Mardimin, 1994:106). Dengan demikian, budaya asing menambah keberagaman budaya Indonesia.
Temu budaya antarbangsa ini membawa konsekuensi bagi bangsa Indonesia. Konsekuensi yang ditanggung oleh bangsa Indonesia, antara lain, menemukan cara yang ampuh untuk memfilter budaya asing, memisahkan yang positif dari yang negatif. Apabila tidak diantisipasi dengan baik, hal tersebut akan mengancam keberadaan budaya Indonesia. Pengaruh negatif budaya asing dapat diatasi dengan mengenal dan memahami budaya Indonesia dengan lebih mendalam. Untuk itu, kita perlu mempelajari budaya Indonesia yang terdiri atas budaya dalam suku-suku yang ada di seluruh kepulauan Indonesia. Dengan mengenal budaya bangsa sendiri, lambat laun kita akan memiliki semangat cinta tanah air dan berjiwa Indonesia.
Keanekaragaman budaya dunia juga membutuhkan adanya toleransi antarbudaya agar budaya-budaya yang bertemu dapat saling beradaptasi tanpa merugikan satu sama lain. Pertemuan budaya antarbangsa tersebut terlihat dalam novel Rojak karya Fira Basuki. Permasalahan-permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah persentuhan budaya antarbangsa, yaitu budaya Jawa dan Cina dalam perspektif keindonesiaan yang terdapat dalam perkawinan campur yang diperankan oleh tokoh utama dalam novel ini. Selain itu, hal lain yang perlu dikaji lebih lanjut adalah konflik-konflik yang diakibatkan oleh perkawinan campur tersebut.

2. 1 Perpaduan Budaya Jawa dan Cina pada Perkawinan Campur
2.1.1 Budaya Jawa (Indonesia)
Novel Rojak berisi perpaduan budaya yang terjadi dalam pernikahan antara Setyo Putra Hadiningrat dan Janice Wong. Setyo berasal dari keluarga Jawa dan masih memiliki keturunan darah biru. Berikut ini adalah hal-hal yang berkaitan erat dengan budaya Jawa.
· Masyarakat Jawa masih memegang teguh tradisi dan budaya Jawa, seperti Nami Hadiningrat yang tetap melestarikan budaya tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat Jawa masih memercayai anggapan bahwa seorang istri harus menuruti semua kemauan suami, seperti nasihat Nami kepada Janice agar menjadi istri yang baik. Selain itu, masyarakat Jawa juga memercayai adanya primbon. Primbon adalah ilmu mengenai pemilihan hari, perhitungan nasib, dan ramalan yang telah diwariskan turun-temurun dalam bentuk buku. Buku yang telah diturunkan dari generasi dahulu sampai dengan generasi sekarang tersebut memberikan pengetahuan dan pemahaman dalam menjalani hidup. Bagi sebagian masyarakat Jawa, primbon sangatlah penting dalam menentukan beberapa peristiwa penting dalam hidupnya, sepeti pernikahan. Hari pernikahan tidak ditentukan secara asal-asalan, tetapi melalui pertimbangan yang matang. Apabila pasangan yang menikah tidak memperhatikan hal tersebut, sesuatu yang tidak diinginkan akan terjadi. Pernikahan pada bulan suro tidaklah baik karena dapat menimbulkan celaka, baik bagi pasangan maupun keluarga. Untuk memilih hari baik pada upacara Perkawinan, pasangan pada masyarakat Jawa menggunakan Kalender Jawa. Sebenarnya semua hari adalah baik sehingga pengertian memilih hari baik lebih kepada kesesuaian antara waktu dengan pengguna waktu. Selain berfungsi untuk memilih hari baik untuk menikah, primbon juga berisi tafsiran makna mimpi, ramalan jodoh berdasarkan hari lahir, ramalan nasib berdasarkan garis tangan, penentuan watak manusia berdasarkan hari, tanggal, tahun, dan weton, tafsiran makna gerak tubuh, seperti telinga berdenging atau mata berkedip, dan lain-lain. Pada saat ini sebagian masyarakat Jawa mungkin sudah mengenyampingkan primbon sebagai panduan hidup mereka, tetapi ada sebagian orang yang masih memercayainya.
· Sifat khas yang dimiliki oleh masyarakat Jawa adalah pakaian yang dikenakannya. Bagi sebagian masyarakat, khususnya wanita yang berusia lanjut masih memakai kebaya dan jarik (pakaian khas jawa) sebagai pakaian sehari-hari. Nami Hadiningrat yang merasa sebagai keturunan bangsawan Jawa memakai kebaya dan jarik sebagai ciri khasnya. Ia sangat menyukai motif dan bentuk kebaya Jawa. Dengan begitu, ia ingin menonjolkan ciri tradisionalnya dan lebih mencintai lokalitas daerahnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa ia sangat memiliki semangat keindonesiaan yang tinggi. Walaupun berada di Singapura, ia tetap percaya diri mengenakan batik di dalam kehidupan sehari-hari. Apabila dibandingkan batik Jawa memiliki warna yang agak gelap daripada batik lain, khususnya batik Cina.
· Pada tata cara makan, budaya jawa juga memiliki aturan tertentu. Penataan meja makan rapi dan teratur. Alat makan yang digunakan adalah piring, sendok, dan garpu dengan letak yang telah ditentukan di meja makan. Akan tetapi, aturan makan ini tidaklah menjadi keunikan karena kebanyakan masyarakat juga memakai tata cara ini.
· Bagi masyakat Jawa, orang yang meninggal akan dimakamkan di tempat pemakaman yang telah disediakan. Setelah upacara pemakaman, kegiatan akan dilanjutkan dengan ritual-ritual khusus bagi orang yang meninggal. Upacara tersebut ditujukan untuk mendoakan arwah yang meninggal. Upacara berlangsung selama tujuh hari berturut-turut. Pada hari keempat puluh, keseratus, dan keseribu, keluarga dari orang yang meninggal akan merayakannya kembali dengan pembacaan doa untuk melancarkan perjalanan arwah ke surga.

2.1.2 Budaya Cina (Singapura)
Berikut ini adalah budaya Cina yang terlihat dalam novel Rojak.
· Kebanyakan masyarakat Cina percaya dengan Feng Shui. Pengertian Feng Shui adalah menjalani hidup yang selaras dan seimbang dengan alam, seperti gunung dan sungai atau angin dan air. Dengan menganut paham ini, orang yang memercayainya akan mendapatkan kebahagiaan, keberuntungan, kemakmuran, dan kesehatan. Feng Shui dapat diterapkan dalam berbagai hal, misalnya Feng Shui untuk tempat pemakaman, tempat tinggal, kantor, dan lain-lain. Dalam novel Rojak, Janice Wong dan mamanya juga memercayai Feng Shui dalam kehidupannya. Penerapan feng shui dalam kehidupan sehari-hari terlihat pernyataan bahwa benda hidup mengindikasikan bahwa Feng Shui baik. Menurut Lilian Too (1995:139), bila Anda melihat tanaman Anda menderita, membusuk, atau mengering, Anda harus segera melakukan sesuatu, seperti mengganti tanaman atau memupuki tanaman. Apabila hal tersebut tidak dilakukan akan terjadi sesuatu yang buruk, seperti kematian. Dalam novel ini, malapetaka terjadi di akhir cerita, yaitu pada saat Janice membunuh Suipah, pembantunya, karena telah memasang guna-guna bagi keluarganya.
· Masyarakat Cina memercayai adanya prinsip dualisme, yaitu Yin dan Yang. Yin dan Yang adalah prinsip negatif dan positif yang menguasai alam semesta dan kehidupannya (Lilian Too, 1995:10). Yin dan Yang dilambangkan dengan warna putih dan hitam. Janice percaya bahwa wanita yang sudah menikah diperlukan seks untuk menyalurkan energi dan mengembangkan energi ke arah positif. Janice tidak dapat mendapatkan hal tersebut dari suaminya sehingga ia menjadi pusing dan energinya menjadi buruk. Untuk mengatasi hal tersebut, ia berselingkuh dengan orang lain untuk menyalurkan seksnya agar mendapatkan energi yang positif.
· Sebagai penganut aliran Taoisme dan paham tradisional Cina lainnya, mama Janice percaya adanya karma, yaitu balasan atas suatu perbuatan yang buruk. Balasan tersebut tidak hanya berdampak langsung pada dirinya, tetapi juga berlaku pada keluarga. Pada saat mengetahui bahwa mamanya meninggal karena penyakit SARS, Janice sadar bahwa ia mendapat karma dari Tuhan karena telah berselingkuh dengan orang lain. Selain percaya terhadap karma, mama Janice juga percaya terhadap filosofi Cina yang lain. Bagi masyarakat Cina, orang yang meninggal akan dikremasi dan abunya kemudian disimpan di sebuah kotak. Setelah dikremasi, upacara dilanjutkan dengan pembacaan doa dan tradisi khas Cina.
· Sebagian masyarakat Cina juga percaya dengan tukang ramal atau dukun. Mama Janice pergi ke tukang ramal untuk memastikan bahwa menantunya, Setyo, memiliki kepribadian yang baik, seperti yang terlihat dalam novel ini. Sebenarnya, semua yang telah dikatakan oleh tukang ramal tersebut benar bahwa terdapat sisi jelek dari Setyo yang harus dihindari. Sifat buruk tersebut terlihat ketika ia menuruti semua perkataan sang ibu yang akhirnya menghancurkan rumah tangganya. Selain itu, Setyo juga menuruti perkataan teman-temannya tanpa bisa menolak permintaan mereka, yaitu pada saat ke luar negeri, Setyo tidak menolak untuk ditemani seorang pelacur, akibatnya ia menderita penyakit kelamin.

2.2 Persentuhan Budaya Antarbangsa dalam Perspektif Keindonesiaan
Novel Rojak mengulas masalah perkawinan campur antarbangsa yang memiliki budaya yang berbeda. Perkawinan campur yang terjadi dalam novel tersebut diperankan oleh Janice Wong yang berlatar budaya Cina dan Setyo Putra Hadiningrat yang berlatar budaya Jawa. Janice yang berperan sebagai tokoh utama merupakan wanita keturunan Cina peranakan yang tinggal di Singapura. Sementara itu, Setyo Putra Hadiningrat adalah pria keturunan Jawa yang tinggal di Jogyakarta. Dengan berlangsungnya Pernikahan Janice dan Setyo menyatukan budaya Jawa dan Cina.
Budaya Jawa adalah suatu budaya yang memiliki aturan dan tradisi yang khas dalam kehidupan masyarakatnya. Nilai sopan santun yang dijunjung tinggi dan nilai tradisionalnya yang masih dipegang teguh oleh masyarakatnya merupakan ciri khas budaya Jawa yang masih diterapkan oleh sebagian masyarakat. Di sisi lain, budaya Cina juga memiliki tradisi yang masih kental bagi masyarakat Cina, misalnya kepercayaan terhadap Feng Shui, tradisi, dan filosofi Cina lainnya. Dengan bertemunya kedua budaya yang berbeda dalam sebuah pernikahan, kedua belah pihak yang menikah, khususnya Janice dan Setyo harus saling memahami dan mengerti satu sama lain. Percampuran budaya dalam sebuah pernikahan adalah wajar. Hal tersebut tidaklah menjadi suatu halangan apabila dilandasi rasa toleransi dan menghargai. Dalam novel Rojak, pada awal pernikahan antara Janice dan Setyo belum muncul konflik yang disebabkan oleh benturan persentuhan budaya antarbangsa. Nyah-Kim Wong atau mama Janice mengatakan bahwa percampuran budaya tidaklah menjadi persoalan, apabila disikapi dengan baik. Setiap pasangan suami sitri dapat tetap mempertahankan kecintaan terhadap budayanya tanpa saling memengaruhi.
Istilah yang disampaikan oleh mama Janice sangatlah beralasan bahwa kita hidup bermasyarakat dari hasil perpaduan budaya. Asimilasi budaya tersebut tidaklah dipermasalahkan, asalkan kita dapat saling memahami budaya yang satu dengan yang lain. Apabila tidak dapat saling mengerti, pernikahan tidak akan berjalan dengan baik. Benturan-benturan budaya Jawa dan Cina dalam novel rojak ini justru dimunculkan pada tokoh yang bernama Nami Hadiningrat yang notabene merupakan mertua Janice. Nami sangat kental dengan budaya Jawa karena ia masih memiliki keturunan darah biru. Ia masih menganut falsafah Jawa bahwa seorang wanita harus mengabdi kepada keluarga. Seorang wanita dalam budaya Jawa harus menurut kepada suami, khususnya pada keluarga. Hal tersebut menghalangi wanita untuk berkiprah secara mandiri dalam dunia kerja. Dengan kata lain, wanita masih dianggap sebagai orang kedua dalam kehidupan rumah tangga. Anggapan tradisional yang menganggap wanita masih di urutan kedua masih dipegang teguh oleh sebagian masyarakat Jawa. Walaupun pada masa modernisasi saat ini, wanita haruslah dapat berpikir dan bekerja lebih mandiri tanpa bergantung pada laki-laki. Sebagai tokoh utama, Janice Wong tidak mau terkekang dengan masalah keluarga yang dihadapinya, khususnya ketika ia beselisih paham dengan mertuanya. Untuk melepaskan diri dari permasalaan tersebut, ia berusaha untuk dapat bekerja sehingga memunyai penghasilan sendiri. Dengan demikian, pastilah Janice lebih dihargai sebagai seorang istri. Akhirnya Janice merayu Setyo supaya ia dapat bekerja kembali. Selain untuk membantu perekonomian keluarga, Janice dapat lebih menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Dengan berbagai alasan, Janice merayu Setyo agar diijinkan untuk bekerja kembali. Pada awalnya, Setyo sebagai suami sebenarnya agak keberatan dengan keputusan Janice, terutama dalam hal pendidikan kedua anaknya. Setyo memikirkan nasib kedua anaknya yang masih kecil. Jika ibunya bekerja, pastilah anak-anak akan kekurangan kasih sayang dari sang ibu. Untuk mengatasi hal tersebut, Janice menyarankan untuk mencari pembantu.
Kesamaan lain yang terdapat dalam dua budaya tersebut adalah kepercayaan terhadap tukang ramal/dukun. Walaupun sama-sama mengakui adanya dukun, mereka memiliki istilah/sebutan tersendiri. Tukang ramal Cina disebut suan ming, sedangkan bagi masyarakat Jawa disebut dukun. Walaupun terdapat perbedaan istilah pada sebutan tukang ramal, tetapi tugas dan kewajibannya hampir sama. Keduanya (dukun atau suan ming) berhak meramal nasib seseorang, baik melalui bentuk wajah, garis tangan, maupun foto. Keberadaan tukang ramal, baik di Cina maupun Jawa, masih dibutuhkan oleh sebagian orang yang percaya dengan ramalannya. Tukang ramal yang notabene memiliki indera keenam dalam meramal masa depan seseorang tidak hanya digunakan untuk tujuan baik. Ada sebagian orang yang memanfaatkan kemampuan mereka untuk menyakiti orang lain, seperti yang telah dilakukan oleh Suipah pada keluarga Janice.
Perkawinan antara Janice Wong dan Setyo Hadiningrat menimbulkan pertemuan budaya Jawa dan Cina. Konsekuensi dari pertemuan dua budaya itu adalah kedua belah pihak harus saling terbuka dalam memahami atau menerima budaya satu sama lain sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman. Setyo yang merupakan warga Negara Indonesia dapat memahami dan menerima istrinya yang memiliki budaya Cina. Akan tetapi, ia tetap mempertahankan budaya Jawa yang dianutnya dan memiliki jiwa Indonesia. Ia tidak mempersalahkan perbedaan budaya di antara mereka, tetapi memikirkan cara terbaik untuk menyatukan budaya yang berbeda dalam suatu perkawinan.

2.3 Permasalahan yang Muncul Akibat Perkawinan Campur
Novel Rojak menyajikan konflik perkawinan campur antara dua budaya, yaitu budaya Jawa dan Cina. Dengan adanya latar belakang budaya yang berbeda, pastilah membutuhkan adaptasi di antara pasangan suami-istri agar tidak saling bertubrukan dalam hal tradisi. Saling mengerti dan memahami adalah kunci utama dalam menjaga hubungan suami-istri yang berbeda budaya. Budaya juga memengaruhi sifat dan perilaku. Sikap dan perilaku Setyo yang merupakan keturunan Jawa pastilah berbeda dengan Janice yang merupakan keturunan Cina. Apalagi Setyo yang sejak kecil dididik dengan budaya Jawa yang sangat kental karena orang tuanya yang masih keturunan ningrat. Sifat dan perilaku Setyo ditunjukkan dalam kehidupan sehari-hari, seperti kalem, sabar, penurut, tradisional, dan lain-lain.
Selain itu, Sifat dari budaya Jawa yang menonjol, yaitu rasa sopan santun yang tinggi. Di sisi lain, Janice yang merupakan keturunan Cina yang tinggal di Singapura. Ia memiliki pemikiran yang modern, mandiri, dan terbuka. Persentuhan kedua budaya tersebut tidaklah mudah dijalani oleh Janice dan Setyo. Konflik-konflik rumah tangga kadang-kadang muncul karena perbedaan tersebut.
Salah satu tradisi masyarakat Cina, yaitu kepercayaan terhadap Feng Shui. Masyarakat Jawa memercayai adanya primbon yang hampir sama artinya dengan Feng Shui. Akan tetapi, antara Feng Shui dan primbon terdapat makna dan presepsi yang berbeda. Pertentangan yang terjadi diakibatkan adanya salah pengertian di antara kedua belah pihak. Bagi penganut Feng Shui, seperti Janice, tanaman yang sudah kering tidak diperbolehkan dipajang/disimpan di dalam rumah karena membawa energi buruk. Energi positif dan negatif harus diciptakan untuk membentuk keluarga yang harmonis. Hal tersebut bertolak belakang dengan primbon Jawa yang tidak pernah membahas mengenai hal tersebut. Primbon Jawa tidak membahas mengenai tanaman kering, tetapi primbon membahas mengenai berbagai macam saran untuk menanam tanaman tertentu, seperti saran untuk menanam bunga matahari di pekarangan rumah karena mendatangkan keharmonisan dalam rumah tangga. Selain itu, di dalam primbon juga terdapat larangan untuk menanam tanaman tertentu di halaman rumah, seperti dilarang menanam pohon beringin di halaman rumah karena akan menjadi tempat roh-roh jahat.
Mertua Janice tidak mau mengerti dengan kepercayaan Janice. Ia bersikeras untuk memajang bunga dan ranting-ranting kering peninggalan dari sang suami. Permasalahan tersebut semakin runcing karena mertua Janice dan Setyo tidak mau mengalah. Dari hal sepele itulah, perbedaan budaya menjadi masalah keluarga yang harus disikapi dengan bijaksana tanpa menyinggung salah satu pihak.

3. Penutup
Budaya Jawa dan Cina yang bertemu dalam perkawinan campur antara Janice Wong dan Setyo Putra Hadiningrat saling berpadu dan beradaptasi satu sama lain. Apabila pelaku perkawinan yang berbeda budaya tersebut memiliki rasa saling memiliki dan toleransi, perbedaan tidaklah menjadi masalah yang besar. Dengan saling memahami kepercayaan dan filosofi budaya masing-masing, perkawinan dapat berjalan dengan harmonis. Akan tetapi, hal tersebut tidaklah mudah untuk dilakukan. Berbagai kendala muncul akibat benturan kedua budaya tersebut, seperti dalam hal penggunaan tanaman kering sebagai pajangan yang tidak disarankan bagi orang Cina. Adapun bagi masyarakat Jawa hal tersebut tidaklah berlaku.
Setyo dan Nami yang merupakan keturunan Jawa sangat mencintai lokalitas budaya daerahnya dan memiliki ciri khas keindonesiaan yang sangat kental, baik dari segi sifat dan tingkah lakunya. Walaupun perkawinan Setyo dan Janice mengakibatkan persentuhan budaya antarbangsa, Setyo tetap mempertahankan budaya Jawa yang dianutnya dengan tetap berperilaku sebagai masyarakat Jawa. Akan tetapi, ia bersikap terbuka terhadap budaya Cina yang dianut oleh istrinya dengan mau menerima budaya atau paham Cina yang dianggapnya baik.









Daftar Pustaka

Basuki, Fira. 2004. Rojak. Jakarta: PT Grasindo.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Sastra Indonesia. 2004. Ensiklopedi Sastra Indonesia. Bandung: Titian Ilmu Bandung.
Djajanegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Feminis. Sebuah Pengantar. Jakarta: PT Garmedia Pustaka Utama.
Mardimin, Johanes. 1994. Jangan Tangisi Tradisi. Yogyakarta: Kanisius.
Srengenge, Sitok. 2004. Prosa. Jakarta: PT Metafor Intermedia Indonesia.
Suryabrata, Sumadi. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Too, Lilian. 1995. Feng Shui. Jakarta: PT Gramedia.
www.Primbon.com
www.tembi.org/primbon/











1 komentar:

Anonim mengatakan...

Live Roulette (live casino site) - Lucky Club
Roulette luckyclub.live is the most exciting live roulette in India. Play roulette in the best casino and have fun without having to make any mistakes.