Selasa, 17 Maret 2009

Humanisme pada Puisi di Kaltim

Sisi Humanisme dalam Antologi Puisi
Secuil Bulan di Atas Mahakam dan Cinta Indonesia
Derri Ris Riana

Abstract
The main reason of doing this writing is to find humanism which is lack in today’s daily life. The issue may give some advantages for the readers to get a description about humanism itself and to realize the danger of losing the sense of humanity for human being’ life. From the poem that were published in Secuil Bulan di Atas Mahakam dan Cinta Indonesia, we can get some conditions dan descriptions about humanism done in our daily life, such as freedom, suffering, dream/hope of getting a better life, and also human being identification. Many human life problems are shown in the poem. Kalimantan Timur’s poet often arise humanism values in their poems. It proves that they are very concern about the lack of humanism in today’s daily life.

Key words: humanism, freedom, dream, poet

1. Pendahuluan
Apabila berbicara sastra, sangat erat kaitannya dengan berbicara tentang kehidupan. Sastra merupakan rekaman mengenai semua hal yang terjadi di dalam kehidupan. Sebagai hasil ciptaan para pengarang, sastra merupakan ungkapan isi hati atau perasaan mereka mengenai situasi yang ada di lingkungan sekitar, misalnya kehidupan religius, keadaan ekonomi, sosial masyarakat, maupun kritikan terhadap politik yang berlaku di negara ini. Oleh karena itu, kita dapat menyebut bahwa sastra adalah rekaman pengalaman dan tingkah laku manusia yang dituangkan dalam bentuk tulisan. Menurut Soeratno (dalam Jabrohim, 2001:10), dalam kaitannya dengan sastra, pada umumnya orang sepakat bahwa sastra dipahami sebagai satu bentuk kegiatan manusia yang tergolong pada karya seni yang menggunakan bahasa sebagai bahan. Melalui media bahasa, baik menggunakan bahasa keseharian maupun bahasa kiasan, karya sastra memiliki nilai estetika tersendiri yang membedakannya dengan tulisan yang lain.
Sastrawan memunyai cara tersendiri dalam menuangkan ide atau gagasan kreatifnya, ada yang mengungkapkannya lewat puisi, drama, prosa cerita, atau karya-karya sastra yang lain. Hal tersebut tergantung pada minat atau bakat yang dipunyai oleh sastrawan. Puisi adalah salah satu karya sastra yang memiliki bentuk dan sifat khas sehingga membedakannya dengan karya sastra yang lain. Unsur-unsur tersebut berupa: emosi, imajinasi, pemikiran, ide, nada, irama, kesan pancaindera, susunan kata, kata-kata kiasan, kepadatan, dan perasaan yang bercampur-baur (Pradopo, 1995:7). Dengan kekhasannya tersebut, puisi dapat dianalisis dengan menautkan berbagai macam pembentuk struktur puisi. Meskipun demikian, orang tidak akan dapat memahami puisi secara sepenuhnya tanpa mengetahui dan menyadari bahwa puisi itu karya estetis yang bermakna, yang mempunyai arti, bukan hanya sesuatu yang kosong tanpa makna (Pradopo, 1995:3). Oleh karena itu, puisi harus dianalisis maknanya terlebih dahulu sebelum menganalisis aspek yang lain.
Munculnya karya sastra di Kalimantan Timur disebabkan oleh adanya pengungkapan ekspresi tentang budaya masyarakat yang diungkapkan oleh para pengarang Kalimantan timur. Oleh karena itu, karya sastra yang dihasilkan dapat berisi tentang kehidupan masyarakat maupun keadaan geografis yang ada di Kalimantan Timur. Para pengarang Kalimantan Timur memunyai kebebasan dalam mengungkapkan karyanya, seperti memilih tema. Tema yang diangkat menjadi topik biasanya mengenai keadaan geografis di Kalimantan Timur, seperti sungai Mahakam, budaya Kalimantan Timur, maupun keadaan politik yang ada.
Perkembangan sastra di Kalimantan Timur mengalami perjalanan yang cukup panjang. Karya sastra Tiga 3 yang tidak Masuk Hitungan yang diterbitkan oleh Kadrie Oening, Ahmad Dahlan, dan Burhan Dahlan merupakan tonggak munculnya karya sastra pertama di Kalimantan Timur. Setelah itu, muncul karya-karya sastra lain yang menyemarakan karya sastra Kalimantan Timur, misalnya munculnya Lembaga Peminat Sastra dan Seni yang didirikan oleh Institut keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Samarinda yang menerbitkan karya penyair-penyair pemula. Pada tahun berikutnya muncul Dewan Kesenian Samarinda (DKS) yang dimotori oleh A. Rizani Asnawi. DKS merupakan tempat berkumpulnya para penyair-penyair Kalimantan Timur. Dalam wadah tersebut para sastrawan bisa berbagi pendapat dan pikirannya mengenai hasil karyanya sehingga terjadi diskusi sastra yang menghasilkan buku kumpulan puisi Merobek Sepi (1979).
Kalimantan Timur telah memiliki antologi puisi karya pengarang Kalimantan Timur, contohnya Secuil Bulan di Atas Mahakam. Antologi tersebut terbit tahun 1999 oleh Komite Sastra Dewan Kesenian Kalimantan Timur. Buku tersebut disusun oleh Safruddin Pernyata dkk. Judul antologi tersebut diambil dari judul puisi karya Rizani Asnawi Secuil Bulan di Atas Mahakam yang termuat di urutan pertama dalam antologi ini. Antologi ini memuat puisi karya tujuh belas penyair Kalimantan Timur dari berbagai kalangan, baik yang tua maupun muda. Sejumlah penyair yang karyanya dimuat dalam antologi Secuil Bulan di Atas Mahakam adalah Rizani Asnawi, Achmad Noor, Ardin Katoeng, Abdul Rahim Hasibuan, Badaruddin Hamidy, Mugni Baharuddin, Masdari Ahmad, Misman, Masriady Mastur, Nanang Rijono, Hamdani, Habolhasan Asyari, Karno Wahid, Syafruddin Pernyata, Syamsul Khaidir, Sukardi Wahyudi, dan Yaya W.S. Aria Santyka.
Selain Antologi Secuil Bulan di Atas Mahakam, koleksi antologi puisi Kalimantan Timur semakin bertambah dengan munculnya antologi Cinta Indonesia. Antologi yang diterbitkan pada tahun 1998 ini merupakan hasil karya para penyair yang ditampilkan dalam acara Parade Pembacaan Puisi Cinta Indonesia. Puisi yang dimuat dalam kumpulan sajak ini merupakan ungkapan hati para penyair Kalimantan Timur tentang hati nurani mereka dalam melihat kondisi bangsa Indonesia, khususnya bidang politik. Seperti kalimat yang tertera di dalam cover depan buku tersebut, yaitu “Kita Perhatikan Suara Hati 202 Juta Jiwa Rakyat Indonesia”, menunjukkan bahwa puisi yang dimuat dalam antologi ini berisi tentang kondisi dan peristiwa politik di negara ini dan persoalan yang ada di dalamnya. Beberapa penyair yang ikut ambil bagian dalam penulisan antologi ini adalah M. Sattar Miskan, Drs. Mugni Baharuddin, Drs. H. Syamsul Khaidir, H. Habolhasan Asyari, Drs. Hamsi Hamzah, Dr. M. Jafar Haruna, S. Pd., M.S., Drs. Hamdani, dan Zainal Abdi.
Puisi yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah puisi yang terdapat di dalam kedua antologi yang sudah saya jelaskan tadi, yaitu antologi Secuil Bulan di Atas Mahakam dan antologi Cinta Indonesia. Puisi adalah salah satu media untuk mengungkapkan perasaan si penulis. Tema yang diangkat juga beragam tergantung dari keinginan atau minat si penulis. Penulis tertarik untuk mengkaji sisi humanisme yang terdapat dalam puisi. Istilah humanisme diperkuat dengan definisi keraf (1987:113), yaitu perhatiannya yang utama dalam pikirannya adalah manusia. Ia memulai kariernya dengan suatu studi psikologis tentang manusia, kemudian beralih kepada analisis tentang pengalaman etis dan religius dari “manusia seluruhnya” dalam keseluruhan filsafatnya tentang manusia dalam segala dimensinya. Jadi, fokus perhatian aliran ini adalah manusia yang memiliki hak asasi atau kebebasan yang merupakan tuntutan manusiawi sehingga membedakannya dengan makhluk ciptaan Tuhan yang lain.
Selain itu, pengertian humanisme adalah aliran yang bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan hidup yang lebih baik; paham yang menganggap manusia sebagai objek studi terpenting (KBBI, 2002:412). Pada saat ini aliran atau paham ini mungkin sudah mulai hilang karena di era modernisasi ini manusia cenderung mementingkan kepentingan sendiri tanpa memperhatikan orang lain. Beberapa orang mungkin tega merampas hak orang lain untuk kesenangannya sendiri. Oleh karena itu, studi tentang humanisme diharapkan dapat lebih mengetahui gambaran kondisi humanisme pada masyarakat kita yang tercermin dalam puisi.
Di dunia ini ada beberapa tipe humanisme yang diterapkan. Frederick Edwords, ketua American Humanist Association (AHA) di http://www.jcn.com/humanism.html mengklasifikasikan istilah humanisme ke dalam 8 tipe.
Literary Humanism is a devotion to the humanities or literary culture.
Renaissance Humanism is the spirit of learning developed at the end of the Middle Ages with the revival of classical letters and a renewed confidence in the ability of human being to determine for themselves truth and falsehood.
Cultural Humanism is the rational and empirical tradition that originated largely in ancient Greece and Rome, evolved throughout European history, and a new constitutes a basic part of the western approach to science, political theory, ethics and law.
Philosophical Humanism is any outlook or way of life centered on human need and interest.
Christian Humanism is defined by Webster’s Third New International Dictionary as a philosophy advocating the self fulfillment of man within the framework of Christian principles.
Modern Humanism, also called Naturalistic Humanism, Scientific Humanism, Ethical Humanism and Democratic Humanism, is defined by one of its leading proponents, Corliss Lamont, as a naturalistic philosophy that rejects all supernaturalism and relies primarily upon reason and science, democracy and human compassion.
Modern Humanism has a dual origin, both secular and religious.
Secular Humanism is an outgrowth of 18th century enlightenment rationalism and 19th century free thought. Many secular groups, such as the Council for Democratic and Secular Humanism and the American Rationalist Federation and many otherwise unaffiliated academic philosophers and scientists, advocate this philosophy.
Religious Humanism emerged out of Ethical Culture, Unitarianism, and Universalism. Religious Humanism offers a basis for moral values, an inspiring set of ideals, methods for dealing with life’s harsher realities, a rational for living life joyously and an overall sense of purpose.
Pada penelitian ini, penulis memilih istilah philosophical humanism dan modern humanism untuk menganalisa data karena kedua definisi tersebut menjelaskan aspek keinginan dan hasrat manusia.
Di dalam buku yang berjudul Humanisme dan Kapitalisme karya Bernard Murchland (1992:93) dijelaskan adanya sepuluh asas humanisme, antara lain: (1) asas keterasingan, (2) asas kebebasan, (3), asas rasionalitas, (4) asas naturalisme, (5) asas moralitas, (6) asas masyarakat, (7) asas tradisi, (8) asas agama, (9) asas kreativitas, dan (10) asas subyektivitas. Kesepuluh asas tersebut merupakan suatu strategi untuk memperoleh humanisme yang kuat. Oleh karena itu, asas-asas tersebut dapat dijadikan gambaran bagaimana meraih humanisme yang sebenar-benarnya.
Penelitian ini mengulas 2 masalah, yaitu : (1) menemukan sisi humanisme yang tersirat dalam antologi puisi Secuil Bulan di atas Mahakam dan Cinta Indonesia, (2) menemukan hubungan antara sisi humanisme yang terdapat dalam kedua antologi tersebut dengan kehidupan pada saat ini.

2. Sisi Humanisme dalam Antologi Puisi Secuil Bulan di Atas Mahakam dan Cinta Indonesia
Seperti yang sudah dijelaskan di awal pembahasan bahwa humanisme adalah suatu paham yang mendorong manusia untuk memperoleh kebebasan bereskpresi atau hak asasi untuk meraih kehidupan yang lebih baik. Akan tetapi, untuk meraih kebebasan tersebut tidaklah dicapai dengan perbuatan yang merugikan orang lain, seperti kejahatan dan kekerasan terhadap orang lain. Perbuatan-perbuatan tersebut akan melanggar hak asasi orang lain dan menimbulkan kekacauan di tengah masyarakat. Apabila kekacauan terjadi, manusia tidak akan saling menghormati antara satu dengan yang lain sehingga tujuan humanisme akan hilang secara perlahan. Untuk itulah, diperlukan adanya toleransi satu sama lain sehingga terjalin hubungan yang harmonis. Beberapa cara untuk meningkatkan humanisme, yaitu dengan menciptakan kedamaian di tengah masyarakat dan memberikan kebebasan kepada orang lain sehingga tercipta kehidupan yang lebih baik.
Pada kesempatan ini, penulis akan mencari sisi humanisme yang tersirat pada puisi yang terdapat dalam antologi Secuil Bulan di Atas Mahakam dan Cinta Indonesia. Beberapa pengarang pada kedua antologi tersebut, seperti Syamsul Khaidir, Masriady Mastur, Yaya W. Santika, Mugni Baharuddin, dan Zainal Abdi, mengangkat topik humanisme pada puisi karya mereka. Dengan gaya penulisan dan pilihan kata yang khas, mereka menciptakan puisi dengan menyoroti kondisi humanisme yang ada di masyarakat atau negara kita. Kepekaan sebagai seorang pengarang semakin terasah dengan melihat dan merasakan secara langsung situasi humanisme yang ada di sekitarnya. Dengan demikian, puisi yang diciptakannya merupakan suatu potret nyata kondisi humanisme. Hal tersebut merupakan sesuatu yang sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut karena untuk melihat bagaimana sisi humanisme yang dimiliki oleh sang pengarang melalui puisi yang diciptakannya.

2.1 Sisi Humanisme dalam Antologi Puisi Secuil Bulan di Atas Mahakam
Antologi yang terbit pada tahun 1998 ini sebagian puisinya mengangkat tema humanisme. Beberapa pengarang yang tertarik menulis tema humanisme, antara lain Syamsul Khaidir, Masriady Mastur, dan Yaya W. Santika. Terlebih dahulu penulis akan membahas puisi karya Syamsul Khaidir yang berjudul “Kami Anak Generasi Kini”. Pengarang yang berasal dari Tenggarong, Kutai Kartanegara ini menyoroti kondisi politik yang ada di negara Indonesia. Kepeduliannya terhadap politik dan semua permasalahan yang ada di dalamnya memberikan suatu inspirasi baginya untuk mengangkat tema humanisme. Ia berharap dengan puisi karyanya tersebut, dapat merubah kekacauan politik yang sudah ada dan menjadikannya lebih baik. Berikut ini adalah kutipan puisinya.

Kami Anak Generasi Kini
Karya Syamsul Khaidir

kami anak generasi kini
mengharapkan para bapak politisi
tidak saling cakut
saling rebut
sementara kepala negara semakin kalut
menampung aspirasi yang tak pernah serasi

kami anak generasi kini
tak ingin warisan
keserakahan keegoisan dan rasa permusuhan
kami inginkan warisan
kepedulian dilandasi rasa cinta kasih
dan kebersamaan

kami anak generasi kini
merindukan hadirnya iklim nilai baru
dibentuk oleh nilai-nilai keindahan
tidak didominasi tuntutan pisik
penyebab mental semakin payah
kami anak generasi kini
akan terus menyeruak
di tengah keramaian negeri
mencari bapak kami
yang mau mendengar
desah nafas dan detak jantung kami
yang mulai kehabisan energi karena tenggelam dalam badai resesi

kami anak generasi kini
suf…et…plup
tak bisa bicara lagi (tenggelam)

Puisi berjudul “Kami Anak Generasi Kini” bercerita sebuah harapan anak-anak muda sebagai generasi muda yang dinyatakan dengan “anak generasi kini” untuk mendapatkan kondisi yang lebih baik daripada sekarang. Kondisi politik pada saat ini semakin kacau yang ditandai dengan para politisi yang mementingkan kepentingan sendiri dan saling berebut kedudukan maupun keuntungan pribadi. Sebagai wakil rakyat harusnya mereka menyalurkan aspirasi rakyat untuk kemajuan masyarakat, tetapi pada kenyataannya mereka lebih memperhatikan kepentingan pribadi atau golongan.
Puisi tersebut juga mengandung makna bahwa anak muda generasi sekarang tidak menginginkan sikap keegoisan dan permusuhan yang diperlihatkan oleh para pendahulu, misalnya yang diperlihatkan oleh para politisi di Indonesia. Sikap-sikap tersebut akan menghancurkan kondisi negara kita. Oleh karena itu, generasi muda saat ini merindukan adanya perubahan ke arah yang lebih baik, yang disebut dengan “iklim baru”. Sebuah iklim baru yang ditandai dengan perbuatan yang dilandasi rasa kasih sayang yang menimbulkan kebersamaan di antara masyarakat. Mereka berharap semua kekacauan yang terjadi di negara kita dapat diatasi dengan sikap saling menghargai dan bersama-sama mencari solusi untuk memecahkan masalah yang ada di negara kita. Untuk itulah, generasi muda saat ini mengharapkan munculnya seorang kepala negara, yang dinyatakan dengan “bapak kami”, untuk mendengarkan aspirasi rakyat yang sedang dilanda kekacauan politik maupun beban ekonomi.
Sisi humanisme yang tercermin dalam puisi tersebut ditunjukkan pada saat generasi sekarang merindukan adanya sebuah kehidupan baru yang lebih baik. Mereka juga menentang keegoisan yang mementingkan kepentingan sendiri. Kebersamaan dan kedamaian dapat terus ditingkatkan dengan menghormati hak asasi orang lain sehingga tujuan humanisme dapat terwujud.
Selain Syamsul Khaidir, pengarang lain yang juga menciptakan puisi bertema humanisme adalah Masriady Mastur. Pengarang yang memiliki nama samaran M.S. Koloq ini lahir di kota Sanga-Sanga, kota perjuangan yang terkenal dengan semangat kepahlawanannya. Pengarang yang banyak berkiprah di kota Tenggarong ini memang lebih suka menulis masalah sosial dan politik yang ada di negara kita. Salah satu puisinya yang berjudul “Sajak di Pagi Hari” berikut ini mengandung makna humanisme.

Sajak di Pagi Hari
Karya Masriady Mastur

ketika jendela perlahan terbuka
berkilauan embun menetes
di ujung daun-daun
bumi pun basah,
kita kembali bangkit
merentas embun yang bergelayut
di ujung kaki

dan adakah yang bermakna
saat merasakan mimpi berselimut malam
atau tak seharusnya selalu terbayangkan
hingga pada kisaran waktu
bersinar cahaya di langit pagi
betapa terang kehidupan
untuk dipandang

lantas,
kita pun mempersiapkan langkah
meskipun dalam kerja yang sederhana

Puisi “Sajak di Pagi Hari” menunjukkan optimisme dalam menjalani hidup. Penulis menganjurkan kepada kita untuk tetap maju dan bangkit menghadapi tanggung jawab kita untuk mencapai masa depan yang lebih baik. Kehidupan yang diliputi dengan suka maupun duka haruslah disikapi dengan lebih optimis. Kita tidak boleh menyerah dengan kondisi yang ada, tetapi terus maju untuk meraih sesuatu yang lebih baik. Walaupun melakukan pekerjaan yang kecil, harus dilakukan dengan sungguh-sungguh. Sikap itulah yang membentuk humanisme yang kuat.
Pengarang lain yang juga menciptakan puisi bertema humanisme adalah Yaya W. Santika. Puisinya yang berjudul “Surat Buat Widji Tukul” adalah ekspresi kepeduliannya terhadap nasib Widji Tukul. Berikut ini adalah kutipan puisinya.


Surat Buat Widji Tukul
Karya Yaya W. Santika

(Setelah pertemuan tiga malam di kedubes Jerman,
kembali kita bicara tentang bapak kita, mungkin
juga bapak kekasih kita)

(……………………………………………..
maka apabila becak pusaka keluarga pulang
tanpa membawa uang
si mbok akan kembali mengajak berkelahi bapak)*)

Kawan, sudah kau tengok lagi sahabat kita
yang terbaring di dipan kardus
sakitnya berawal sepulang kerja senin pahing itu
dengan lemas ia tunggingkan mesin kerjanya
di depan pintu gubugnya sembari mendesah panjang
lalu duduk di bale-bale
(tak jadi masuk karena si mbok menghadang di depan pintu)
“mana uang belanja dinten niki?
Si ujang mredih beli potlot batman!”

Dji, sahabat kita melenguh
tangannya tak lagi membuka dompetnya
karena hafal benar
hari ini dompetnya tak tersinggahi sepeser pun
becak pusakanya tak sempat diduduki siapa pun selain
dia sendiri
;
sehari mupun kalang kabut
tibum memburu pusaka keluarganya

kawan
sakitnya kali ini benar-benar bukan karena
dia pulang tak membawa uang
tapi lantaran sakit hatinya yang menggunung
menanggung beban keluarga
habis pikir tapi terus berpikir
;
Mengapa pusaka keluarganya diburu dan dirampas?
Padahal untuk memilikinya
Harus korbankan
Sepetak sawah keluarga

kawan
apa yang harus kita lakukan untuk sahabat kita itu?
Sekarang!

Puisi tersebut mengisahkan kepedulian Yaya W. Santika terhadap tokoh Widji Tukul. Widji Tukul adalah seorang pengarang yang berasal dari Solo, Jawa Tengah. Puisi karya Widji Tukul banyak menyoroti masalah politik yang ada pada saat itu. Ia begitu berani mengungkapkan ketidak setujuannya terhadap sesuatu hal. Protes dan kritikan yang pedas kepada pemerintahan, ia tuangkan secara tidak langsung melalui puisi karyanya. Ia tidak takut akan resiko yang dihadapinya. Oleh karena sikapnya itulah, sampai saat ini keberadaannya belum dapat ditemukan. Beberapa asumsi muncul menyertai kepergiannya. Dugaan terkuat yang muncul adalah ia disembunyikan oleh orang-orang yang tidak menyukai keterbukaannya. Hal tersebut menjadi inspirasi tersendiri bagi Yaya untuk menuangkannya melalui puisi berjudul “Surat Untuk Widji Tukul”.
Dengan gaya penulisan dan pilihan kata yang mudah dimengerti, Yaya menuliskan kepedulian atau rasa kemanusiaannya terhadap keluarga yang ditinggalkan oleh Widji Tukul. Yaya tidak dapat membayangkan bagaimana perjuangan istri dan anaknya untuk memenuhi kebutuhan hidup, sedangkan Widji Tukul sebagai kepala keluarga menghilang dan tidak dapat diketahui keberadaannya. Pada puisi tersebut dikisahkan kerja keras Widji Tukul dalam mencari nafkah buat keluarganya. Pekerjaannya adalah sebagai tukang becak. Pekerjaan sebagai tukang becak tidaklah dapat dijadikan pegangan hidup, terkadang ia pulang tidak membawa uang karena tidak ada penumpang. Ia bekerja seharian untuk mencari penumpang sehingga dapat menghasilkan uang, seperti yang terlihat dalam kalimat “sehari muput kalang kabut, tibum memburu pusaka keluarganya”.
Rasa kasian Yaya terhadap Widji Tukul diwujudkan dengan penulisannya di puisi tersebut. Solidaritasnya tergugah ketika ia melihat betapa berat beban hidup yang harus dijalani oleh Widji Tukul. Satu-satunya benda kesayangannya dirampas orang lain tanpa rasa kasian. Sebagai ekspresi humanismenya terhadap Widji Tukul, ia mengajak teman-temannya atau para pembaca puisi karyanya untuk melakukan sesuatu untuk sahabatnya. Ia berharap dengan puisinya tersebut pembaca dapat tersentuh hatinya dan ikut merasakan penderitaannya.

2.2 Sisi Humanisme dalam Antologi Puisi Cinta Indonesia
Seperti yang sudah dijelaskan pada awal pembahasan bahwa antologi Cinta Indonesia merupakan buku kumpulan puisi karya penyair Kalimantan Timur yang dipentaskan pada acara Parade Pembacaan Puisi Cinta Indonesia yang dilaksanakan pada tanggal 7 Juni 1998 di Aula Manunggal Korem. Buku diterbitkan oleh Dewan Kesenian Samarinda ini menyuarakan suara hati rakyat Indonesia. Beberapa puisi yang dimuat di dalam antologi ini mengandung sisi humanisme, antara lain puisi berjudul “Darah dan Darah” karya Mugni Baharuddin dan puisi berjudul “Mitos Belenggu” karya Zainal Abdi.
Mugni Baharuddin merupakan pengarang yang produktif mencipta puisi. Selain dimuat di antologi Cinta Indonesia, puisi karyanya juga dimuat di dalam antologi Secuil Bulan di Atas Mahakam. Mugni menyoroti kondisi yang ada di negara ini. Topik humanisme juga diangkat di dalam puisi yang berjudul “Darah dan Darah”. Berikut adalah kutipan puisinya.

Darah dan Darah
Karya Mugni Baharuddin

Di kota yang jauh
Di negeri yang aneh
Pada negara yang memerah darah
Telah terjadi nilai-nilai jual pasrah
Nurani terkikis habis terkikis
Tinggallah hati-hati kaku
dari batu membeku

Pada pembela hanyalah sebagai pembawa tongkat
Tak mampu mengangkat ratusan amanat manusia

Marilah kita berseru dalam kalimat Tuhan
kepada pemegang amanat kemanusiaan
taatlah pada tali kejujuran

Mari kita berteriak kepada pemegang mandat hati nurani
Segeralah tunduk pada kesepakatan hati

Hai pemegang mandat ummat
tuangkan pada benakmu
kepalkan tinjumu
tawarkan resahmu pada bangsa-bangsa yang masih belum
berdarah
buatlah perhitungan demi kepentingan darah-darah yang
telah
tumpah
dan bersemedilah pada kejadian yang penuh berdarah

Oh Sang penguasa jagad
selamatkan generasi ini dari hitamnya tetesan
darah
Hai…pemangku anak-anak yang tak berdosa
enyahkan kalimat-kalimatmu yang tajam dan mengeras
belailah mereka dengan puisi dan nyanyi
dekaplah mereka dengan tangan-tangan yang ramah
kecuplah kening mereka dengan hatimu yang damai

Di kota yang jauh
Di negeri yang aneh
padamu Negara yang memerah darah
telah terjadi keanehan yang berdarah

Puisi “Darah dan Darah” mengecam pemegang kekuasaan dalam mengambil keputusan supaya sesuai dengan hati nuraninya. Di dalam puisi tersebut tersirat bahwa selama ini para penguasa belum mampu menyuarakan aspirasi masyarakat, seperti yang tertera dalam kalimat “Pada pembela hanyalah sebagai pembawa tongkat, Tak mampu mengangkat ratusan amanat manusia”. Kejujuran hati menjadi hal yang sangat penting bagi para penguasa. Jangan sampai godaan-godaan yang mengarah ke perbuatan negatif membuat para penguasa pasrah dan ikut melakukan hal tersebut. Hendaknya, mereka mengintrospeksi diri dan lebih mementingkan kepentingan rakyat.
Sang penulis menghimbau kepada penguasa untuk menyelamatkan generasi muda sebagai penerus bangsa dari kekerasan dan tindakan kesewenang-wenangan. Sikap kedamaian dan ketentraman perlu diciptakan untuk membentuk hubungan yang harmonis.
Puisi yang berjudul “Mitos Belenggu” karya Zainal Abdi juga memiliki nilai humanisme. Salah satu asas humanisme adalah asas kebebasan. Setiap orang memiliki kekebasan dalam mengekspresikan keinginanannya. Puisi berikut ini merupakan perwujudan dari kebebasan yang sulit untuk didapat.


Mitos Belenggu
Karya Zainal Abdi

Aku tidak boleh berbicara dengan lantang
Aku tidak boleh mendengar tentang kebaikan
Aku tidak boleh melihat adanya kebenaran
Aku tidak boleh mencium segarnya kemerdekaan
Aku tidak boleh merasakan segala kebebasan

Indraku telah dibelenggunya………………

Aku tidak boleh berpikir realitas
Aku tidak boleh berbuat sesuai nuraniku
Aku tidak boleh menulis sesuai faktanya
Aku tidak boleh melangkah sesuai kehendakku

Kini anggota tubuhku yang dibelenggu……………………..

Tapi aku masih punya harga diri
Tapi aku masih punya semangat
Tapi aku masih punya harga diri
Tapi aku masih punya semangat
Tapi aku masih punya cita-cita
Tapi aku masih punya doa
Aku tidak mau dibelenggu
Aku tidak mau dibelenggu
Aku tidak mau dibelenggu

Aku mau reformasi………………………

Puisi “Mitos Belenggu” merupakan ungkapan hati untuk melepaskan diri dari suatu belenggu. Walaupun pada awalnya mereka diberi larangan-larangan dan tidak boleh menuntut hak asasinya, pada akhirnya mereka memberontak untuk mencapai sesuatu yang lebih baik. Dengan semangat optimisme yang tinggi dan cita-cita akan kehidupan yang lebih baik, mereka berjuang untuk mendapatkan perubahan yang diidam-idamkan, yaitu reformasi. Humanisme yang tercermin dalam puisi tersebut adalah adanya usaha untuk mencapai kehidupan manusia ke arah yang lebih baik.

3. Simpulan
Humanisme merupakan suatu paham yang mengagungkan rasa peri kemanusiaan. Seperti yang kita alami, pada saat ini rasa kemanusiaan masyarakat semakin berkurang. Sikap saling mengutamakan kepentingan sendiri, sikap acuh terhadap sesama yang membutuhkan, mengambil hak orak lain merupakan contoh bagaimana rasa humanisme menjadi sulit didapat di zaman sekarang. Pernyataan tersebut dibuktikan dengan semakin seringnya kita melihat adanya kekerasan yang ada, baik di media elektronik, televisi, maupun yang ada di lingkungan sekitar kita. Para pelaku kekerasan terkadang tidak memikirkan dampak yang diterima oleh sang korban, baik fisik maupun mental.
Sebagai manusia, seharusnya kita memiliki tanggung jawab untuk saling membantu orang lain yang membutuhkan. Rasa saling menghargai dan menghormati harus dapat ditingkatkan untuk menjalin hubungan yang harmonis di dalam masyarakat. Dengan demikian, tidak akan ada lagi permusuhan dan kekerasan yang ada di masyarakat kita sehingga tujuan humanisme dapat tercapai.
Penyair Kalimantan Timur, khususnya yang puisinya dimuat di dalam antologi Secuil Bulan di Atas Mahakam dan Cinta Indonesia, seringkali mengangkat tema kurangnya sisi humanisme yang ada di dalam masyarakat kita. Tujuan yang ingin dicapai mereka adalah untuk memberikan gambaran mengenai kondisi humanisme yang ada di sekitar kita dan semakin berkurangnya rasa kemanusiaan antara manusia satu dengan yang lain. Puisi-puisi yang telah dianalisis merupakan representasi contoh rekaman nyata kondisi humanisme yang kurang, misalnya susahnya memperoleh kebebasan berekspresi dan memperjuangkan kehidupan yang lebih baik.











Daftar Pustaka

Edwords, Frederick. 1984. The Humanist Philosophy in Perspective. http://www.infidels.org/library/modern/fred_edwords/perspective.html

Edwords, Frederick. What Is Humanism? http://www.jcn.com/humanism.html

Esten, Mursal dkk. (Penyelia).2004. Ensiklopedia Sastra Indonesia. Bandung: Penerbit Titian Ilmu.

Hamdani. 1998. Parade Pembacaan Puisi: Cinta Indonesia. Samarinda: Dewan Kesenian Samarinda.

Jabrohim. 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Jogyakarta: PT. Hanindita Graha Widia Yogyakarta.

Keraf, A Sonny. 1987. Pragmatisme Menurut William James. Yogyakarta: Kanisius.

Murchland, Bernard. 1992. Humanisme dan Kapitalisme. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.

Pernyata, Syafruddin. 1999. Antologi Secuil Bulan di Atas Mahakam. Samarinda: Komite Sastra Dewan Kesenian Kalimantan Timur.

_______ . 1999. Antologi Menyambut Fajar. Yogyakarta: Galang Printika.

Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga). Jakarta: Balai Pustaka.






Tidak ada komentar: