Selasa, 17 Maret 2009

Seno Gumira Ajidarma

HAM dan Reformasi di Mata Seno Gumira Ajidarma


Karya Derri Ris Riana, S.S.


Potret buram keadaan sosial politik yang terjadi di Indonesia pada akhir Orde Baru menarik perhatian para penulis untuk menuangkannya ke dalam sebuah karya sastra. Sebagai salah satu penyalur aspirasi, karya sastra sering digunakan oleh para pengarang untuk mengritik pemerintah. Para pengarang drama, misalnya, menggunakan salah satu genre sastra tersebut untuk menangkap gejolak sosial politik yang terjadi pada masa Reformasi tahun 1998. Mereka terinspirasi oleh peristiwa tersebut untuk membuat dan mementaskan drama di beberapa panggung pertunjukkan. Secara terang-terangan para pengarang menyampaikan kritikan terhadap penguasa dan menyuarakan kebobrokan pemerintah pada masa itu. Banyak diantaranya yang harus dicekal, bahkan diculik supaya tidak dapat menghasut masyarakat untuk mengecam pemerintah.

Kondisi tersebut mengilhami Seno Gumira Ajidarma (SGA), penulis yang merupakan lulusan Institut Kesenian Jakarta Jurusan Film, untuk menerbitkan buku kumpulan drama politik pada tahun 2001 dengan judul Mengapa Kau Culik Anak Kami?. Buku yang berisi tiga drama politik dengan judul “Tumirah, Sang Mucikari”, “Mengapa Kau Culik Anak Kami?”, dan “Jakarta 2039”, secara eksplisit mengungkapkan kekerasan politik yang terjadi di Indonesia, khususnya pada masa Reformasi. Reformasi yang diartikan sebagai perubahan secara besar-besaran, baik di bidang ekonomi, sosial, maupun politik pada suatu negara pernah dialami oleh bangsa Indonesia pada kurun waktu 1998. Munculnya era Reformasi tersebut berawal dari kebijakan ekonomi, sosial, dan politik yang tidak berpihak pada rakyat.

Kesenjangan ekonomi yang dialami oleh masyarakat Indonesia ketika itu terlihat jelas dengan adanya konglomerasi pada di satu pihak dan kemelaratan di pihak yang lain. Kesenjangan ekonomi diperparah dengan meluasnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang memang sudah membudaya selama era Orde Baru. Praktik politik dan ekonomi yang kotor itu semakin merajalela karena tidak adanya kontrol atau pengawasan dari pemerintah. Oleh karena itu, Pada akhirnya, krisis ekonomi dan moneter tidak terhindarkan. Inflasi yang semakin meningkat yang diiringi dengan melonjaknya harga barang kebutuhan mendorong masyarakat, khususnya mahasiswa, menuntut sebuah reformasi atau perubahan besar-besaran.

Kelahiran Reformasi politik 1998 yang diperjuangkan oleh para aktivis mahasiswa harus menelan banyak korban, baik masyarakat sipil maupun para mahasiswa itu sendiri. Proses berdarah kelahiran Reformasi akhirnya membuahkan hasil, yaitu tergulingnya rezim Orde Baru dan turunnya Presiden Soeharto dari kekuasaan. Akan tetapi, banyak terjadi kasus pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) yang mencederai perjuangan Reformasi. Antologi drama Mengapa Kau Culik Anak Kami? yang terdiri atas tiga drama politik mengangkat tema pelanggaran HAM, di antaranya, pemerkosaan, pengadudombaan, penculikan aktivis, dan pejarahan/ pembakaran toko /rumah yang dilakukan oleh elite politik.

Dalam drama yang berjudul “Tumirah, Sang Mucikari”, beberapa tokohnya mengalami penganiayaan dan pelanggaran HAM. Tumirah, sang mucikari, yang menjadi tokoh sentral di dalam drama tersebut menjadi salah satu korbannya. Beberapa orang yang menyamar sebagai ninja menghancurkan, mengobrak-abrik, membakar rumah bordil yang dimilikinya. Bahkan, para ninja itu memperkosa anak buah Tumirah, yaitu para pelacur. Walaupun berprofesi sebagai pelacur, Tumirah dan anak buahnya tetap tidak pantas diperlakukan seperti itu. Para pelacur tersebut juga memiliki hati nurani dan ingin merasa dihargai sebagai manusia. Selain Tumirah dan anak buahnya, Sukab, teman Tumirah, yang hanya seorang penjual obat turut menjadi korban. Ia dijadikan kambing hitam. Para ninja yang disimbolkan sebagai elite politik berusaha mengacaukan keadaan di masyarakat. Salah satu usahanya adalah dengan memakaikan baju ninja ke tubuh Sukab yang tidak bersalah. Ketika melihat sesosok ninja yang selama ini telah meresahkan, masyarakat langsung membalas dendam tanpa melihat siapa sebenarnya yang memakai baju ninja tersebut. Sukab, Tumirah, dan teman-teman pelacurnya, hanyalah segelintir korban kekerasan politik yang terjadi pada saat itu. Masih banyak korban-korban lainnya yang dijadikan tumbal politik demi kepentingan para penguasa.

Drama “Mengapa Kau Culik Anak Kami?” jelas sekali merujuk pada peristiwa penculikan para aktivis selama peristiwa Reformasi 1998. Satria adalah salah satu dari ratusan aktivis yang telah menjadi korban kesewenang-wenangan pemerintahan Orba. Hanya karena memiliki pemikiran kritis, mereka dituduh membahayakan otoritas pemerintah. Oleh karena itu, mereka menjadi sasaran penculikan demi menjaga ketenangan dan ketentraman di Indonesia. Dalam drama ini, sosok elite politik direpresentasikan oleh tokoh Jenderal yang bertugas memimpin operasi. Sang Jenderal memerintahkan beberapa intel khusus untuk mendata dan menyelidiki orang-orang yang akan ditangkap. Kemudian, satu persatu orang yang ada dalam daftar tersebut, termasuk Satria, diculik dan dinterogasi. Hegemoni elite politik sangatlah terlihat dalam beberapa kasus pelanggaran HAM. Tanpa mengetahui bersalah atau tidak, para aktivis diculik dan diinterogasi dengan mengabaikan hak-hak mereka sebagai manusia.

Drama “Jakarta 2039” merupakan drama karya SGA untuk memperingati peristiwa 13—14 Mei 1998. Drama yang sangat menyentuh hati ini secara eksplisit mengungkapkan penderitaan seorang korban pemerkosaan yang terjadi pada masa Reformasi 1998. Pada saat itu etnis Cina menjadi sasaran amuk massa karena adanya kesenjangan ekonomi dan sosial dengan masyarakat pribumi. Berbagai peristiwa kekejaman telah menimpa warga Cina, seperti pembakaran, penjarahan rumah/toko, dan pemerkosaan. Clara, yang sejak lahir tinggal di Indonesia, diperkosa beramai-ramai hanya karena ia seorang etnis Cina. Peristiwa tersebut menunjukkan ketidakmampuan pemerintah mengatasi dan menghentikan para dalang kerusuhan. Pada saat itu pemerintah memang sedang mengalami goncangan politik ketika para mahasiswa berusaha menggulingkan presiden. Barangkali kisah Clara hanya sepenggal cerita dari ratusan peristiwa pemerkosaan yang terjadi pada perempuan-perempuan Cina. Mereka hanya pasrah menerima ketidakadilan akibat diskriminasi etnis. Sebagai warga Indonesia, mereka tidak diperlakukan sebagaimana mestinya dan selalu dibedakan dari masyarakat pribumi. Padahal, mereka telah ikut memajukan dan menyejahterakan bangsa ini.

Ketiga drama SGA merefleksikan hak manusia sebagai warga Indonesia yang telah dirampas oleh dalang kerusuhan Reformasi 1998. Pada saat Reformasi mulai didengungkan, beberapa elite politik berkeinginan kuat untuk melakukan perubahan terhadap sistem dan tatanan, baik dalam berpolitik maupun berbangsa. Namun, sejalan dengan berlalunya tragedi kemanusiaan yang disebabkan oleh Reformasi 1998, para elite politik justru melupakan cita-cita awal reformasi. Budaya korupsi yang dilakukan oleh para elite politik terus mengakar sampai sekarang.

Tidak ada komentar: